Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Iqdul Jid Dahlawi (Pdf Drive) - Kitab Aliran Bertaqlid Bagi Orang Awam

 Seorang mujtahid memiliki risiko atas pendapatnya Iqdul Jid Dahlawi (PDF Drive) - Kitab Pedoman Bertaqlid Bagi Orang Awam
Kitab Iqdul Jid. Foto: dutaislam.com.


Dutaislam.com - Seorang mujtahid memiliki risiko atas pendapatnya: benar atau salah. Bila benar, ia mendapatkan pahala dan jikalau salah, tidak berdosa. Alasannya, sebelum beliau ber-ijtihad, mereka telah melalui proses penelusuran dalil. Demikian berdasarkan pendapat Imam Syafi'i dan qaul dhahir dalam madzhab Syafi'i. Mujtahid yang salah dihukumi tidak berdosa walaupun salah alasannya adalah seorang mereka tidaklah bermaksud membatalkan aturan (المبطل). Hanya salah saja menciptakan ijtihadnya saja.


Demikian klarifikasi Syah Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Ad-Dahlawi dalam Kitabnya, Iqdul Jid fi Ahkamil Ijtihad wat Taqlid di halaman 6 PDF. Kitab setebal 35 halaman (minus halaman 7) ini membincang khusus terkait hukum ber-ijtihad, berfatwa dan bertaqlid terhadap imam madzhab. 


Baca: Flashdisk Kitab Kuning PDF 32 GB


Menurut penulis, khilaf yang terjadi dalam aturan fiqih lazimnya sebab ada komponen lokalitas. Dalam pertengkaran hasil ijtihad, kedua pihak pihak harusnya menggunakan metode pengusutan dan hati yang hening biar tidak berujung adu mulut. Dalam hadits, Nabi Muhammad Saw pernah menyerahkan beberapa keputusan aturan sesuai karakter dan lokalitas umatnya. Misalnya, Beliau Saw pernah bersabda, 


اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ


Artinya:

"Puasa itu adalah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu yaitu pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (adalah hari raya menyembelih binatang-hewan kurban) itu yakni pada hari kau menyembelih binatang".


Tentang hadits di atas, Al-Khotobi berkata: hadits shahih di atas, jika terjadi kesalahan pada praktik di lapangan, yang salah bukan haditsnya, namun manusianya. Artinya, kalau di masing-masing negara memulai berpuasa, idul fitri dan idul qurban, tetapi ternyata tidak sesuai kenyataan di lapangan (salah tanggal karena ketidaksengajaan, misalnya), maka, tidak ada yang perlu diqodlo'. Ini merupakan takhfif (dispensasi aturan) dari Allah dalam usaha insan untuk taat kepadaNya, meski keputusan akhirnya berlainan-beda. 


Contoh lain. Dua orang teman senior Rasulullah Saw pernah berijtihad atas pemahaman ayat Al-Qur'an dalam bagian tayamum. Menurut Umar bin Al-Ash, tayammum untuk junub dibolehkan dengan alasan takut kedinginan air. Dalilnya: وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ. Umar bin Khatab berbeda pendapat dengannya. 


Menurut Umar bin Khatab, tayamum tidak mampu digunakan untuk thoharoh junub. Sebab, junub tidak disebutkan dalam ayat dibolehkannya tayamum (اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا). Umar bin Khatab berpendapat, makna لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ bukanlah jima' yang mengakibatkan junub, tetapi hanya menyentuh saja. Karena itulah, tayamum tidak sah dijadikan selaku cara bersuci dari hadats besar junub. 


Keputusan Rasulullah Saw terbukti membenarkan ijtihad Umar bin Ash ataupun Umar bin Khottob. Buktinya, dalam suatu hadits, Nabi Saw tercatat pernah membenarkan seorang sobat yang menangguhkan shalat sebab junub. Suatu kali pula, Nabi Saw juga membenarkan sahabatnya yang junub, bertayammum dan shalat dengan tayamumnya. Semuanya benar. Nabi Saw memang menyerahkan keputusan masing-masing sahabatnya dalam beberapa dilema tanpa harus memperdebatkan lebih dalam tentang kebenaran hakiki keputusan tersebut. 


Hasil Ijtihad yang Rusak

Sebagaimana para teman Rasulullah Saw, semua ulama' mujtahid (baik mujtahid mutlak, mujtahid muntasib, mujtahid madzhab, atau mujtahid aliran) memiliki ujung berdalil syariat dan sampai terhadap sabda-sabda Rasulullah Saw. Bila ada orang yang ber-ijtihad, yang hasil ijtihadnya merusak hasil ijtihad para mujtahid, maka, ijtihad mereka juga rusak (hlm. 12). 


Misalnya, mengambil usulan tentang: bolehnya menyimak alat malahi, nikah mut'ah, jima' perempuan melalui belakang, menjama' dua shalat tanpa udzur (menurut Ahli Hijaz), bolehnya minum anggur memabukkan, mengakhirkan Ashar sampai petang, Jumatan hanya boleh di tujuh daerah, makan sehabis Fajar di bulan Ramadhan (menurut Ahli Iraq), semuanya itu tidak diperbolehkan dengan argumentasi menyelisihi ijma' ulama'. Imam Ibnu Hajar menyebut para pengikut pendapat ini selaku seburuk-buruknya hamba Allah (hlm. 25). 


Mengambil pendapat dari kelompok Khawarij (yang keluar dari ijma'), Qadariyah (yang berdalil dengan hadits Ahad), atau Syi'ah (yang memakai Qiyas), juga tidak dibolehkan (hlm. 34). Pendapat yang menyelisihi ijma' ulama' imam madzhab masyhur dihukumi rusak. 


Fatwa Untuk Orang Awam

Bagi seorang mufti, mengambil pertimbangan yang sudah lama ditinggalkan (مهجورة) untuk menawan manfaat tetap tidak dibolehkan. Alasannya, hal itu dianggap lebih membahayakan, baik dunia maupun alam baka. Cara yang ditempuh mufti untuk mengambil faedah besar kepada keputusan aturan ialah dengan mengambil pendapat para masyayikh unggul, diakui, dan mencocokkan dengan kehidupan yang berlaku di kalangan ulama salaf. (hlm. 29). Selain itu, seorang mufti seharusnya memilih keputusan aturan yang lebih merenggangkan orang awam, memudahkannya. 


Bagi orang awam, pemikiran para mufti itulah madzhabnya. Sebab, pada hakikatnya, orang awam tidak mempunyai madzhab. Artinya, kalau beliau meminta aliran hukum ke kiai bermadzhab Syafi'i, beliau boleh mengamalkan anutan kiai itu. Begitu pula ketika ia meminta fatwa ke kiai madzhab Hanafi, beliau boleh mengamalkannya. Ketika sudah menerima aliran, orang awam tidak boleh merujuk ke fatwa madzhab lain yang berbeda. (hlm. 30-31, 34). Atas itulah, Syaikh Dahlawi mewanti-wanti biar umat Islam tidak meninggalkan cara bermadhzab yang mengandung banyak maslahat. 


Baca: Flashdisk Ebook Terjemah Kitab Kuning


Menurut Syaikh Dahlawi, jikalau ada seorang yang bermadhzab Syafi'i (dalam shalat), lalu dalam batalnya wudlu' ia mengikuti madhzab Hanafi (yang menghukumi tidak batalnya wudlu' sehabis menjamah kemaluan atau kulit wanita), maka, taqlidnya dihukumi boleh (جاز). Alasannya: 1). Tujuannya agar tidak gampang batal wudlu'nya, dan 2). Pendapat kedua imam madzhab tersebut sudah dibukukan dan diakui. (hlm. 28). 


Bila argumentasi menentukan usulan ulama mujtahid madzhab cuma untuk mencari dispensasi saja, orang awam itu dihukumi fasiq, sebagaimana diungkap oleh Abu Ishaq (hlm. 34). Meski begitu, menurut Dahlawi, perilaku menolak opsi ringan orang awam tidak sesuai logika dan nash syariat (an-naql).  


Jikaada orang bermadhzab Syafi'i menyaksikan orang bermadzhab Syafi'i minum arak atau menikah tanpa wali lalu menjimak perempuannya itu, maka, dia wajib mencegahnya dengan argumentasi: bertentangan dengan keputusan imam madzhabnya (hlm. 28).


Ini berbeda saat ada penganut Syafi'i menyaksikan seorang penganut Maliki menyembelih binatang tanpa basmalah (yang tetap sah berdasarkan Imam Hanafi), maka, saat penganut Syafi'i menegurnya, yang menganut Hanafi boleh berkata: kamu boleh menganut Imam Syafi'i (yang mengharamkan sembelihan tanpa membaca basmalah), namun kamu juga boleh meninggalkannya. Silakan pilih. 


Demikian catatan dari kitab yang sulit dicari cetakan kertasnya ini. Bila Anda ingin membacanya, silakan mendownloadnya via Drive (DSR) link di bawah ini: 



Terimakasih. Semofa goresan pena redaksi berfaedah buat Anda. [dutaislam.com/ab]


Post a Comment for "Iqdul Jid Dahlawi (Pdf Drive) - Kitab Aliran Bertaqlid Bagi Orang Awam"