Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34 (Kesetaraan Gender Perspektif Islam)
![]() |
Ilustrasi kesetaraan gender dalam persepsi Islam. Foto: istimewa. |
Oleh Wijaksana Santosa
Dutaislam.com - Di era progresif dikala ini, pembahasan ihwal interaksi pria dan perempuan acap kali menjadi objek perdebatan yang berkepanjangan. Selain dari perbedaan sudut pandang, adanya banyak sekali kepentingan ialah asbab yang menyebabkan pembahasan gender seperti lautan pembahasan yang tak bertepi.
Bagi kelompok sekuler, gender dimaknai selaku perbedaan laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan budaya. Sedangkan secara lazim gender dipahami selaku perbedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan terhadap jenis kelamin, sebagaimana makna bahasa yang terdapat dalam KBBI.
Adapun dalam artikel ini, penulis ingin membahas gender dalam kacamata Islam dengan mengutip QS. An-Nisa:34, dimana Allah SWT telah berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ …
Terjemah:
"Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi wanita (istri), alasannya adalah Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan sebab mereka (pria) telah menawarkan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-wanita yang salih, yaitu mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri saat (suaminya) tidak ada, alasannya adalah Allah sudah mempertahankan (mereka)..." (QS. An-Nisa':34)
Analisa Ayat
Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini turun dalam dongeng Sa'd bin ar-Rabi', dikala istrinya Habibah binti Zaid bin Kharijah membangkang terhadapnya lalu beliau menamparnya. Kemudian ayah dari istrinya menyampaikan hal ini kepada Rasulullah Saw, sehingga turunlah ayat tersebut.
Ayat tersebut mempunyai kekerabatan dengan ayat lain di dalam Al-Qur'an seperti yang terdapat dalam QS. ِAl-Baqarah [2]: 228, Allah SWT firmankan:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ
Terjemah:
"Tetapi para suami, mempunyai keunggulan di atas mereka".
Kosakata utama yang mau menjadi pembahasan dalam ayat tersebut yakni kata قَوَّ ٰمُونَ (qawwaamuuna) yang berasal dari kata قَوَّامٌ (qawwamun). Dalam kamus Al-Munawwir, kata tersebut mengandung arti yang menanggung, yang bertanggung jawab, amir, kepala, dan pemimpin. Adapun dalam Kitab Lisanul Arab dimaknai al-muhafadzah wal ishlah, yaitu menjaga dan memperbaiki.
Terkait dengan kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ, Ibnu Katsir menafsirkannya dengan mengatakan bahwa pria memiliki kedudukan yang tinggi atas perempuan, yakni sebagai nabi, pemimpin, penguasa, dan pendidiknya saat beliau bengkok (dalam ketaatan), alasannya adalah Allah melebihkan sebagian mereka atas yang lain, ialah bahwa laki-laki lebih unggul dari wanita.
Demikian juga pertimbangan yang serupa dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi dengan mengatakan bahwa pria adalah pemimpin sekaligus pendidik perempuan.
Dari uraian tafsir tersebut, ada tiga hal yang menjadi fokus pembahasan, yaitu kasus keistimewaan (tafdhil), tanggungjawab (taklif) dan sinergi antara keduanya. Terkait keutamaan (tafdhil), perbedaan gender Allah ciptakan dalam rangka menyanggupi naluri pria dan perempuan untuk memelihara keberlangsungan hidup umat manusia di tampang bumi ini.
Dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa secara fisik laki-laki lebih cenderung pada kekerasan dan kekuatan (maskulinitas), sedangkan wanita lebih cenderung pada kelembutan dan kekurangan (feminitas). Sehingga yakni hal yang wajar apabila pada aspek kepemimpinan pria diutamakan sebab kepemimpinan memerlukan kekuatan fisik dan huruf yang keras untuk menghadapi berbagai ancaman dan gangguan fisik.
Sedangkan kasus tanggungjawab (taklif), maka hal ini tidak bisa dipisahkan dengan perkara keistimewaan (tafdhil), alasannya adalah tanggungjawab ini lahir dari keutamaan yang sudah Allah SWT berikan. Dengan kata lain, tafdhil yang ada pada pria berkonsekuensi logis terhadap taklif yang dibebankan kepadanya. Kerasnya pria bertanggungjawab dalam mempertahankan lembutnya wanita dan kuatnya laki-laki bertanggungjawab menjaga lemahnya perempuan. Dari sini mampu dikenali kenapa Allah SWT menyebutkan laki-laki pemimpin bagi wanita sebab pria bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan, kesucian, kemuliaan dan ketakwaan wanita.
Adapun sinergitas keduanya terangkum dalam frasa min nafs wahidah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Araf[7]:189 dan frasa sakinah mawaddah warrahmah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ar-Rum:21, dimana makna as-sakn yang ada dalam 2 ayat tersebut mempunyai arti الاطمئنانا (al-ithmi'nanan), adalah ketentraman dan kedamaian yang merupakan moral asli dari sebuah perkawinan dimana suami istri akan saling memerlukan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Abbas ketika memaknai QS. Al-Baqarah[2]:228 dalam tafsir Al-Qurthubi. Beliau berkata:
لَهُنَّ مِنْ حُسْنِ الصُّحْبَةِ وَالْعِشْرَةِ بِالْمَعْرُوفِ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ من الطاعة فيما أوجبه عليهن لأزواجهن
Terjemah:
"Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang bagus dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melaksanakan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka".
Kontekstualisasi Ayat
Dalam konteks kontemporer, di dikala banyak sekali faktor kehidupan didominasi oleh metode sekuler liberal, perbedaan gender dimengerti selaku ajang kompetisi untuk mendapatkan kehidupan dunia yang lebih layak. Dimana jenis kelamin pria dipandang mempunyai jalan masuk lebih dominan untuk hidup patut dibanding pihak wanita.
Hal ini pasti menjadikan perlawanan dari pihak wanita yang merasa perlu untuk mendapatkan “keadilan gender”. Pihak wanita merasa hanya menjadi objek penderita saja. Pada titik ini kontekstualisasi ayat dengan pendekatan yang tepat sangat diharapkan.
Perbedaan gender sebagai desain laki-laki sebagai pemimpin mesti diterjemahkan selaku kesetaraan dalam hak dan keharusan. Pasangan suami-istri mesti melakukan pekerjaan sama dalam mengambil kiprahnya masing-masing sesuai dengan fitrahnya.
Suami pemimpin dalam mempertahankan keberlangsungan keluarga, mencari nafkah, menetapkan keputusan, dan mencapai tujuan bareng agar keluarganya selamat dari jilatan api neraka serta keharusan berjihad dalam memerangi musuh di medan pertempuran.
Sementara itu, seorang istri yakni ummun wa rabbatul bait, yaitu manager di rumahnya dalam mengelola dan mempertahankan aset-aset keluarga. Hubungan diantaranya bukan dalam arti atasan dan bawahan, tetapi lebih ke persahabatan sejati antara laki-laki dan wanita yang saling membutuhkan untuk membangun keselarasan keluarga dalam menghadapi banyak sekali macam tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan menuju kepada pulau kebahagiaan di dunia maupun darul baka.
Dalam konteks kesetaraan gender yang terus berkembang, aspek kepemimpinan dalam rumah tangga ialah peran yang mesti diemban bareng oleh suami dan istri, di mana masing-masing saling memerlukan tidak bisa bangkit sendiri.
Ayat-ayat dalam Surat An-Nisa' tidak mengesampingkan hak dan tanggung jawab perempuan. Prinsip-prinsip cinta, keseimbangan, dan saling mendukung adalah dasar bagi keluarga yang bahagia. Islam telah memutuskan kemuliaan seorang insan tidak didasarkan atas perbedaan gender namun terhadap sejauh mana seorang pria dan seorang wanita mempunyai ketaatan kepada Allah SWT. Wallahu a’lam. [dutaislam.com/ab]
Wijaksana Santosa, mahasiswa PTIQ, Peneliti Tafsir Al-Qur'an. Tinggal di Serang, Banten
Daftar Pustaka:
- Munawir, A.W. Kamus Al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1997. h. 1174
- Syaikh, Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu. Lubabut Tafsir Min Ibni Katsiir. Jakarta: Pustaka Imam Syafe'i. 2009. h. 299
- Al-Qurthubi. Al-jami li ahkam al-qur’an al-karim. Al-Misri Al-Jadidah: Daar Ar-rayan Liturots. h. 1738
Post a Comment for "Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34 (Kesetaraan Gender Perspektif Islam)"